Gambar Ilustrasi [MataMata.com]

Matamata.com - Sayup-sayup terdengar lantunan tembang lagu Jawa di sebelah sisi barat Pagelaran Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tepatnya dari sebuah bangunan kuno yang hanya seluas 4x3 meter di jalan Rotowijayan Nomor 3 Yogyakarta. Mataku tertuju tajam pada lalu lalang pria tua, pria setengah tua, ibu-ibu lansia dan juga segelintir muda-mudi yang memasuki bangunan model lawas itu.

Saat itu, waktu menunjukan pukul 15.30 WIB. Rasa penasaran yang memuncak membuatku menyambangi bangunan itu yang bernama Pamulangan Sekar (Macapat) KHP. Kridha Mardawa Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Pertama kali ku jejalkan kaki di sana, aku disambut oleh seorang pria tua yang memiliki nada bicara halus dan lembut.

Baca Juga:
Bersuara Merdu, 4 Anak Komedian yang Terjun ke Dunia Musik

“Monggo mbak, mlebet mawon (silahkan mbak, masuk saja),” kata pria tua tersebut.

“Nama saya Kanjeng Mas Tumenggung Projo Suwarsono atau biasa disapa Rama Projo, saya sebagai abdi dalem Kraton Ngayogyakarta yang ditugasi oleh kraton untuk mengurusi sekolah macapat yang ada di Yogyakarta,” jelas Rama Projo.

Lipsus Sekolah Macapat di Yogyakarta (MataMata.com/Firna Larasanti)

Sejarah sekolah macapat

Baca Juga:
5 Band dan Grup Musik Tanah Air yang Lebih dari 25 Tahun Masih Berkarya

Seolah mengerti rasa keingintahuanku, Rama Projo pun mulai menceritakan sejarah berdirinya sekolah macapat di Yogyakarta.

“Sekolah macapat ini berdiri sekitar tahun 1960. Tetapi, sebetulnya sebelum 1960 sudah ada proses belajar dan mengajar yakni di rumah para pengasuh atau pengajar Macapat. Nah, sejak 1960 itu lah proses belajar mengajar itu berada di Jalan Rotowijayan Nomor 3 Yogyakarta, hal ini dikarenakan salah satu seorang pengajar macapat tinggal di tempat ini,” ujar Rama Projo.

Lipsus Sekolah Macapat di Yogyakarta (MataMata.com/Firna Larasanti)

Lebih lanjut, Rama Projo juga menjelaskan bahwa sekolah macapat ini adalah milik Kraton Ngayogyakarta sehingga segala pembiayaan terkait dengan gaji guru yang mengajar maupun siswa yang ingin belajar macapat semua ditanggung oleh Kraton Ngayogyakarta.

Baca Juga:
5 Nama Unik Anak Artis yang Bernuansa Musik, Kreatif Abis!

“Sumbernya adalah dana keistimewaan. Jadi, sekolah ini memang terbuka untuk umum dan semuanya cuma-cuma, tidak dipungut biaya sedikit pun alias gratis,” jelas Rama Projo.

Pengajar di sekolah macapat ini dulunya adalah alumni siswa sekolah ini termasuk Rama Projo. Untuk saat ini, ada tiga guru yang mengajar di sekolah macapat Yogyakarta yakni Rama Projo Suwarsono, Rama Dwija Cipta Wandowo dan Rama Joyo Atmojo yang ketiga-ketiganya merupakan abdi dalem Kraton Ngayogyakarta.

Lipsus Sekolah Macapat di Yogyakarta (MataMata.com/Firna Larasanti)

Sama seperti sekolah pada umumnya, sekolah macapat ini terbagi menjadi tiga kelas yakni macapat sekar alit (kelas pemula), macapat sekar tengahan (kelas menengah) dan macapat kelas ageng (kelas utama).

Kegiatan belajar mengajar sendiri dibuka setiap senin sampai sabtu. Tetapi, khusus pada hari jum’at sekolah juga mengadakan latihan menulis aksara Jawa (huruf hanacaraka) untuk umum. Semua kelas selalu dimulai pukul 15.30-17.30 WIB.

Nembang itu panggilan hati

Tujuan didirikannya sekolah macapat adalah untuk melestarikan budaya Jawa. Rama Projo sendiri menjelaskan bahwa sebagai pamong (guru) ia tidak memiliki ambisi atau pamrih apapun dalam mengajar macapat.

Secara umum, macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat) yaitu cara membaca yang terjalin tiap empat suku kata. Sedangkan yang diceritakan dalam tembang atau puisi tradisional Jawa adalah tahapan kehidupan manusia.

“Macapat itu adalah seni suara seperti menyanyi. Tetapi, ada kekhasan spesialis aturan-aturan yang harus dipenuhi dalam mengajar macapat. Misalnya, kita belajar macapat itu harus tahu apa tembang-tembangnya, kemudian harus tahu nada-nadanya,” kata Rama Projo.

Di dalam belajar macapat juga ada istilah-istilah yang harus dipahami oleh peserta yakni Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru Wilangan.

“Jadi sebelumnya harus tahu titi larasnya, kalau guru gatra itu jumlah baris dalam satu tembang. Karena dalam sebuah tembang baris perbarisnya sudah pasti. Yang mestinya 9 kalau lebih dari 9 ya salah. Yang mestinya 7 kalau lebih dan kurang ya salah. Nah, kalau A I U E O itu namanya guru lagu,” jelas Rama Projo.

Tembang-tembang Macapat sendiri sangat beragam di antaranya Kinanti, Mijil, Sinom, Asmarandana, Gambuh, Dangdanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Maskumambang.

“Tembang yang biasanya sulit dikuasai siswa itu Sinom dan Durmo. Namun, kalau siswa sudah mengetahui notasi-notasinya semuanya pasti mudah,” ujar Rama Projo.

Lipsus Sekolah Macapat di Yogyakarta (MataMata.com/Firna Larasanti)

Bukan hanya sekadar kursus nembang, sekolah macapat juga memiliki tujuan khusus mengapa masih diajarkannya sekolah macapat di Yogyakarta.

“Para siswa ini setelah belajar justru kami arahkan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan macapat yang ada di Yogyakarta. Seperti diketahui kegiatan macapat di Yogyakarta itu sangatlah padat. Bisa dikatakan tiada malam tanpa macapat,” jelas Rama Projo.

“Nah, kalau bener sudah betul-betul mampu, para siswa akan diajak untuk tampil ke Kraton Ngayogyakarta. Biasanya hal ini dilaksanakan setiap jumat pagi jam 09.00-11.oo WIB dalam acara pagelaran macapat untuk suguhan para wisatawan.” kata Rama Projo.

Untuk antusiasme sendiri, sebagian besar siswa sekolah macapat justru diisi oleh bapak atau ibu yang telah berusia lanjut dari pada pemuda-pemudinya. Selain itu, Rama Projo juga menjelaskan beberapa kali para wisatawan juga ada yang tertarik untuk belajar macapat.

“Biasanya kalau bule-bule itu lewat denger kita nembang mereka nanti ikutan. Tapi ya nggak bisa ditentukan. Kalau lansia-lansia itu malah senang belajar karena mereka memang banyak waktu,” jelas Rama Projo.

Hal ini sejalan dengan alasan yang diutarakan oleh ibu-ibu yang ditemui ketika kursus tembang macapat pada Kamis (19/9).

“Ya, untuk mengisi waktu luang mbak. Daripada tidak ada kegiatan lebih baik digunakan belajar,” kata salah seorang ibu peserta kursus macapat.

Sedangkan untuk anak-anak muda yang datang ke sekolah macapat biasanya memiliki tujuan-tujuan berbeda. Ada yang terkait dengan pembelajaran kelas ataupun memang ingin melestarikan budaya Jawa.

“Kita memang tidak pernah mendesak anak-anak muda untuk belajar macapat. Tapi, mereka yang datang ke sini biasanya memang karena panggilan hati. Pertama, jam belajar nembang macapat di sekolah kan biasanya terbatas jadi mereka ke sini. Kedua, mungkin memang mereka suka nembang macapat,” kata Rama Projo.

“Kenapa lebih banyak lansia-lansia, alasannya macapat ini kan berisi petuah-petuah kehidupan yang lebih cocok diilhami oleh orang-orang tua ketimbang anak muda. Jadi, menurut saya wajar kalau anak-anak muda kurang merasa sebagai dunianya,” kata Rama Projo.

Keresahan pemuda terhadap pengabaian budaya

Namun, aku mulai tergelitik saat menatap beberapa pemuda-pemudi yang terlihat asyik menyimak lantunan-lantunan tembang macapat pada Kamis sore itu (19/9).

Salah satunya ada Vanessa yang merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum di salah satu Universitas Yogyakarta. Pada awalnya, ia mengaku mendapatkan informasi macapat dari ibunya.

“Aku sih hampir tiga minggu (kurus macapat), sebenarnya dari awal memang cari macapat. Nah, kadang kan ada dipertunjukan wayang, tapi kita cuma bisa dengar tanpa belajar. Terus kebetulan pas ada bazar diumumkan kalau ada kursus macapat dan nulis aksara Jawa. Sebenarnya yang datang ke bazar ibu,” kata Vanessa.

Meski awalnya didukung ibunya, Vanessa mengaku resah sedikitnya minat pemuda-pemudi yang ingin belajar budaya leluhurnya.

“Sebelumnya kan saya kan sekolah di Jakarta jadi hampir nggak ada pelajaran bahasa Jawa. Kebetulan keluarga saya juga setengah-setengah, Bapak Jawa dan Ibu Sumatra jadi ngomongnya sering Bahasa Indonesia. Mumpung saya kuliah di Yogyakarta saya memperdalam budaya-budaya Jawa lagi. Karena kalau bukan kita pemuda, siapa lagi,” jelas Vanessa.

Selain Vanessa, ada juga sosok pemuda lain yang merupakan mahasiswa pascasarjana di salah satu Universitas Yogyakarta.

Lipsus Sekolah Macapat di Yogyakarta (MataMata.com/Firna Larasanti)

“Saya sudah sering mengikuti kursus ini sejak kuliah s-1. Tapi sempat berhenti karena beberapa kesibukan. Kemudian saya sekolah lagi dan ambil jurusan sastra jawa. Tetapi, pembelajaran di kuliah itu sangat terbatas. Meskipun ini nggak wajib, saya berkeinginan ingin meningkatkan skills dalam nembang bahasa Jawa. Apalagi saya juga mengajar sebagai guru di sebuah sekolah,” kata Rio.

Lebih lanjut, Rio juga menjelaskan jika ketertarikan pemuda dalam belajar budaya memang semakin menurun. Apalagi di tengah era globalisasi yang memudahkan para pemuda untuk mendengar lagu-lagu barat ketimbang lagu daerah sendiri.

“Ya, bisa dibilang hanya segelintir pemuda yang masih memperhatikan adat istiadat ataupun budaya bangsanya. Di jaman digital ini, pemuda sangat gampang untuk mendengarkan lagu-lagu internasional bahkan sekarang ada K-Pop dan lain sebagainya, Tapi, di lain sisi mereka seolah sulit untuk sekedar mendengar atau mempelajari lagu kekhasan dari daerahnya masing-masing,” ujar Rio.

“Memang sih saya lihat lebih banyak orang tua yang mengikuti kursus ini. Padahal pemuda memiliki tanggungjawab yang sangat besar untuk melestarikan budaya bangsa. Maka dari itu,, saya sendiri berkomitmen untuk tetap belajar dan melestarikan warisan leluhur ini,” pungkas Rio.

Meski gratis, nyatanya minat para pemuda untuk melestarikan budayanya memang masih sedikit. Padahal, pemerintah juga telah mengupayakan secara maksimal agar warisan leluhur bangsa Indonesia tetap dapat dinikmati generasi selanjutnya.

Load More