Pramoedya Ananta Toer

Matamata.com - Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”, salah satu quote populer yang dikutip dari buku pertama Tetralogi Buru, Bumi Manusia, karya sastrawan kaliber Pramoedya Ananta Toer.

Untuk menerapkan adil sejak dalam pikiran pun tampaknya sulit dilakukan oleh generasi masa kini.

Buktinya, masih banyak yang berapi-api menanggapi kabar difilmkannya novel Bumi Manusia. Perlakuan adil belum berlaku untuk Hanung Bramantyo sebagai sutradara film dan Iqbaal Ramadhan sebagai pemeran Minke.

Baca Juga:
Perankan Minke, Iqbaal Tuai Pro dan Kontra Penggemar Bumi Manusia

Muncul kritikan dari para penikmat sastra setelah mengetahui Bumi Manusia akan difilmkan pun setelah mengetahui para cast-nya.

Lagi-lagi, Iqbaal Ramadhan mendapat perlakuan yang sama seperti saat ia mendapat peran sebagai Dilan di film Dilan 1990.

Baca Juga:
Ine Febriyanti Menggeser Peran Happy Salma dalam Bumi Manusia

Namun untuk kasus ini, rupanya cukup serius mengingat Iqbaal akan membawakan karakter yang dinilai sakral oleh para penikmat sastra.

Banyak spekulasi bermunculan ketika terpilihnya Iqbaal sebagai Minke, bahwa Falcon Picture dinilai mengambil kesempatan dari kesuksesan film Dilan 1990 yang berhasil meraup kurang lebih sebanyak tujuh juta penonton.

Kali ini Falcon Picture beruntung mendapat kesempatan mengadopsi novel Bumi Manusia. Sebelumnya, Falcon Picture juga sebagai rumah produksi film Dilan 1990.

Baca Juga:
Mengenal Mawar Eva De Jongh, Pemeran Annelies dalam Bumi Manusia

Kekhawatiran pun muncul ketika Bumi Manusia difilmkan, akan menghilangkan esensi sebenarnya tentang perjuangan kolonialisme dan perjuangan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kisah cinta Annelis Malema dan Minke memang menarik dan romantis, namun itu hanya lah pemanis dalam cerita. Perjuangan Minke melawan ketidakadilan yang terjadi pada bangsanya lebih penting untuk dikedepankan.

Novel Bumi manusia tidak sekadar novel cinta-cintaan semata. Bumi Manusia merupakan novel progresif yang mampu membangkitkan semangat revolusioner. Ketajaman pena Pram terlihat di novel Bumi Manusia.

Baca Juga:
Mengenal Desa Wisata Gamplong, Tempat Syuting Bumi Manusia

Kisah Heroik di Balik Bumi Manusia

Long story short, pada 1960-an Pramoedya Ananta Toer ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya.

Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Pram dilarang menulis selama ditahan di Pulau Buru. Sebelum mulai menulis, Pram menceritakan kisah Bumi Manusia kepada para tahanan ketika sedang berada di sawah dan ladang.

Setelah dua tahun berlalu, rekan tahanannya membantu Pram dengan memberikan mesin tik tua Royal 440 padanya.

Dengan bahan yang serba terbatas dan bantuan para tahanan lainnya, ia mulai menulis Tetralogi Pulau Buru yang meliputi empat jilid, yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Tokoh utama Minke, seorang bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama.

Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

Pada bulan April 1980 selepas dari tahanan, Hasjim Rachman, mantan pemimpin redaksi Bintang Timur, dan Pramoedya menemui Joesoef Isak, mantan wartawan Merdeka yang belasan tahun mendekam di Rutan Salemba.

Diskusi berkembang, dan kesepakatan dicapai untuk menerbitkan karya eks-tapol yang selama ini tidak mendapat sambutan dari penerbit lain.

Naskah pertama yang terpilih untuk diterbitkan adalah Bumi Manusia. Pramoedya kembali bekerja keras memilah tumpukan kertas doorslag yang berhasil diselamatkannya dari Pulau Buru. Hampir semua naskah aslinya ditahan oleh petugas penjara dan sampai tidak pernah dikembalikan.

Dalam kurun waktu tiga bulan, Pram berhasil menyusun kembali tumpukan kertas yang sudah lusuh menjadi sebuah buku. Awal Juli 1980, naskah Bumi Manusia dikirim ke percetakan Aga Press dan cetakan pertama keluar pada 25 Agustus 1980.

Perjuangan Pram menerbitkan Tetralogi Buru tak berhenti sampai disitu. Setelah jilid pertama Bumi Manusia beredar, Kejaksaan Agung melarang peredaran buku ini pada tahun 1981 dengan tuduhan mempropagandakan ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme dan Komunisme, walaupun dalam buku ini tidak disebut-sebut sedikit pun tentang ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme atau komunisme.

Semua agen dan toko buku didatangi oleh Kejaksaan Agung yang menyita semua eksemplar Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Tapi sampai Agustus 1981, hanya ada 972 eksemplar yang diterima oleh Kejaksaan Agung, dari sekitar 20.000 eksemplar yang beredar.

Buku tersebut tetap dilarang di Indonesia hingga tahun 1990-an.  Adanya teknologi internet, hasil scan dari buku-buku Pramoedya mulai menemukan jalan mereka dan beredar secara sembunyi-sembunyi. Salinan Tetralogi Pulau Buru mulai tersedia di beberapa toko buku Jakarta pada awal 2000-an, setelah Soeharto lengser.

Berkat perjuangannya, Pram telah menghasilkan lebih dari 50 Karya dan diterjemahkan ke dalam 41 bahasa asing. Untuk Tetralogi Buru sendiri sudah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa.

Load More