Matamata.com - Biennale Jogja 2025, atau Biennale Jogja ke-18, siap digelar pada 19 sampai 24 September 2025 dengan mengangkat tema reflektif bertajuk "KAWRUH: Tanah Lelaku".
Ajang dua tahunan ini menjadi bagian penting dari lintasan konseptual "Translokalitas dan Transhistorisitas" dalam Seri Khatulistiwa (Equator) Putaran Kedua—meneruskan semangat yang sudah diusung sejak edisi sebelumnya, "Titen", pada 2023.
Lebih dari 50 seniman dari berbagai penjuru Indonesia, termasuk kreator dari wilayah sekitar, bakal unjuk karya dan gagasan dalam perhelatan ini. Namun Biennale Jogja 18 bukan sekadar ruang pamer.
Ia adalah ruang laku, ruang temu, dan ruang tanya: apa yang sebenarnya kita cari dalam berkumpul?
Dua Babak Perhelatan, Satu Napas Perjumpaan
Perhelatan Biennale kali ini dibagi menjadi dua babak. Babak pertama berlangsung bersama warga di Desa Karangsewu, tepatnya Padukuhan Boro, Kulon Progo. Sementara babak kedua menjangkau Kota Yogyakarta dan dua desa di Bantul, yakni Bangunjiwo dan Panggungharjo.
Lebih dari sekadar berpindah lokasi, dua babak ini mencerminkan cara Biennale membaca medan sosial budaya: berpijak dari pinggiran, lalu bergerak ke pusat. Dari desa, menuju kota—membuka ruang laku yang transformatif.
Bukan Lagi Sekadar Titik Kumpul
Di tengah ritme hidup modern yang tak mengenal jeda, kumpul—dalam arti yang sebenar-benarnya—menjadi barang langka. “Setelah kerja, masih adakah ruang untuk duduk bersama?” tanya narasumber Biennale kali ini. Apalagi jika hasilnya tak sebanding dengan lelah yang dibayar.
Keluarga lebih sering memilih kafe sebagai titik temu. Orang-orang di desa tak lagi rutin berkumpul di balai dusun. Bahkan dana desa yang semestinya menghidupkan interaksi, justru dinilai melemahkan jejaring sosial.
Biennale Jogja 2025 hadir untuk tidak hanya mempertanyakan, tapi juga mengusulkan: mungkin kita tak butuh titik kumpul. Mungkin yang kita perlukan adalah titik kebutuhan—sebuah kehadiran yang mendengarkan, bukan hanya menghimpun.
Program Pendukung: Dialog, Tur, Pertunjukan
Selain pameran utama, Biennale Jogja 18 juga menghadirkan berbagai program pendukung. Mulai dari tur kuratorial, pertemuan dengan para seniman, hingga pertunjukan dan aktivitas interaktif yang membuka ruang perjumpaan lintas wacana dan generasi.
Melalui pendekatan ini, Biennale tidak hanya ingin menjadi ruang representasi, tapi juga ruang berdialog. Tempat di mana seni hadir bukan untuk menjawab, melainkan untuk bertanya ulang: bagaimana kita hidup bersama hari ini?
Berita Terkait
-
YES 2025: Ekonomi Hijau, Digital, dan Hilirisasi sebagai Peluang Kerja Milenial dan Gen Z
-
Cherrypop 2025: Gelanggang Musik Pop Kembali Menggema di Yogyakarta
-
Indonesias Horse Racing - Indonesia Derby 2025: Kuda King Argentin Raih Gelar Triple Crown Indonesia
-
Indonesias Horse Racing: Indonesia Siap Ukir Sejarah Baru Triple Crown Indonesia di IHR-Indonesia Derby 2025
-
Run for Equality 2025 Jakarta: Lari untuk Kesetaraan, Ribuan Orang Dukung Hak Penyandang Disabilitas
Terpopuler
-
Erick Thohir: Atlet SEA Games Harus Tunjukkan Kedigdayaan Indonesia
-
Satgas Telusuri Dugaan Kerusakan Hutan Penyebab Banjir dan Longsor di Sumatera
-
ESDM Identifikasi 23 Izin Tambang di Tiga Provinsi Terdampak Banjir dan Longsor
-
Menkeu Siapkan Dana Tambahan, Tunggu BNPB Ajukan Anggaran Penanganan Banjir Sumatera
-
Siswa MTs di Banyuwangi Raih Medali Perak di Olimpiade Sains Junior Internasional Rusia
Terkini
-
Ketika Cerita Bertemu Nada: Inovasi Massive Music yang Mengubah Proses Musikal Film
-
Kolaborasi Netflix dan Dee Lestari: Tiga Novel Ikonis Diadaptasi Menjadi Original Series
-
JAFF Market 2025: Kolaborasi Amar Bank dan JAFF Market, Bawa Semangat Film Indonesia Mendunia
-
Dari Identitas hingga Realita Sosial: MAXstream Studios Hadirkan Film Pendek Terbaik Program Secinta Itu Sama Indonesia
-
Transformasi Pencarian Musik: Massive Music Tawarkan Solusi Berbasis Data di JAFF Market 2025