Riki Chandra | MataMata.com
David Williams memainkan alat musik Didgeridoo di Jakarta. [Dok.Antara]

Matamata.com - Perjuangan kaum adat Aborigin dan penduduk Kepulauan Selat Torres di Australia untuk mendapatkan pengakuan hak masyarakat adat atau Bangsa Pertama (First People) dalam konstitusi, kembali terbentur.

Istilah Bangsa Pertama merujuk kepada kelompok masyarakat yang nenek moyang mereka sudah ada di Benua Amerika atau Australia, jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa.

Aborigin, kelompok masyarakat yang merupakan 3,8 persen dari total 27 juta populasi Benua Kanguru itu, harus menerima kenyataan pahit. Berdasarkan hasil referendum pada 15 Oktober 2023, atau referendum pertama di Australia, setelah hampir seperempat abad, nyaris 60 persen rakyat menolak hak mereka dalam konstitusi.

Artinya, keberadaan suku yang sudah menempati benua itu selama lebih dari 60.000 tahun, tidak diakui oleh orang-orang yang datang belakangan dan mendiami benua tersebut sejak 235 tahun.
Para pemimpin Masyarakat Adat Australia pun kemudian menaikkan bendera setengah tiang dan perenungan selama satu pekan sebagai tanda berduka.

Hasil referendum tersebut menandai kemunduran besar upaya rekonsiliasi dengan komunitas masyarakat adat, serta merusak citra Australia di dunia tentang bagaimana negara itu memperlakukan warga dari Bangsa Pertama. Berbeda dengan suka bangsa lain dengan sejarah yang sama, seperti Kanada dan Selandia Baru, Australia belum secara resmi mengakui atau mencapai kesepakatan dengan Bangsa Pertama mereka.

Dalam referendum tersebut, terdapat pertanyaan yang harus dijawab masyarakat Australia, yaitu "UU yang Diusulkan: untuk mengubah Konstitusi mengakui Masyarakat Pertama Australia dengan membentuk Suara Aborigin dan Penduduk Pribumi Selat Torres. Apakah Anda menyetujui usulan perubahan ini?"

Para pemilih harus menulis "ya" di kertas suara jika mereka setuju dengan usulan perubahan konstitusi, atau menulis "tidak" jika tidak setuju. Dan hasilnya sangat menyakitkan, karena ternyata hampir 60 persen menjawab "tidak".

Jade Ritchie, yang berkampanye untuk pilihan "ya", setelah hasil referendum keluar pada Sabtu (14/10) mengatakan seluruh negara harus berduka atas hilangnya kesempatan.

Load More