Matamata.com - Serupa terlahir kembali, kita terjebak dalam pusaran konser sinema Samsara.
Keremangan di bangku penonton, keheningan di sela-sela kedatangan pemusik, seakan menarik kita dari realitas dan menjerat diri dalam pesona magis tak terhindarkan.
Visual yang terbingkai dan gamelan yang dialunkan menciptakan pengalaman estetika yang begitu intens. Pengalaman yang membuat kita merasa terlahir kembali dalam dunia mistis Bali.
Baca Juga:
Putri Marino Menangkan Best Performance di JAFF 2021
Sensasional, satu kata tepat untuk melukiskan Cine-concert Samsara oleh Garin Nugroho.
Pulang ke Tanah Air
Adikarya Garin Nugroho, Samsara pertama kali dipamerkan melalui format konser sinema--atau familiar disebut dengan cine-concert---di Esplanade Concert Hall, Singapura pada 10 Mei 2024.
Baca Juga:
Garin Nugroho Nilai Filmnya Tak Cocok untuk Oscar, Kenapa?
Baru lah pada 16 Agustus 2024, Samsara pulang ke Tanah Air. Berbalut Festival Indonesia Bertutur, Garin menggelar Cine-concert Samsara kedua di Pulau Peninsula, Nusa Dua.
Sensasi imersif berpadu pengalaman eksotis yang dibagikan, menggugah rasa penasaran dalam benak para penikmat sinema yang bersinggah di Jawa.
Hingga mimpi dan angan-angan terbayar tuntas pada Kamis, 5 Desember 2024 di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas UGM (Universitas Gadjah Mada) di Yogyakarta.
Baca Juga:
Ungkapan Syukur Garin Nugroho Filmnya 2 Kali Masuk Seleksi Oscar
Konser sinema Samsara hadir memeriahkan perayaan sinema Asia, Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ke-19. Membersamai Garin Nugroho, dua grup pemusik kelahiran Bali, Gabber Modus Operandi dan Gamelan Yuganada mewujudkan sebuah simfoni cahaya dan suara.
Atmosfer yang Lebih Nyata
Menyesap kemegahan konser sinema sejatinya bukan hal yang gampang. Kompleksitas yang ditampilkan di depan mata sejenak menimbulkan tanda tanya.
Baca Juga:
Garin Nugroho Ungkap 3 Resep Jadi Sutradara Sukses di JAFF Jogja
Mana yang sebaiknya diperhatikan? Film atau gamelan?
Mana yang tidak boleh diabaikan? Kepiawaian seorang Juliet Burnett dalam menari atau keahlian penembang dalam menciptakan emosi?
Dan jawaban yang kita angankan mungkin menolak untuk datang. Bukan memilih satu di antara dua, melainkan menemukan sinkronisasi yang sempurna.
Ketika penonton menemukan bagian yang sinkron dari apa yang ditampilkan di layar dengan apa yang terdengar di telinga, saat itu lah ruang yang intim tercipta.
Penonton dibawa masuk ke dalam atmosfer Bali tahun 1930-an, dengan kisah di balik percampuran darah antara pribumi dan pendatang. Kisah yang dimulai dari keinginan untuk mengeksplorasi berakhir dalam jebakan demi saling memiliki.
Mistisisme dalam transaksi yang terjadi antara Darta (Ario Bayu) dan Raja Monyet (Gus Bang Sada) terasa semakin mengusik jiwa, dengan terdengarnya dentuman gamelan dan teriakan penembang.
Ketakutan yang terlukis dalam kecantikan Sinta (Juliet Burnett) ketika menemukan rahasia terdalam Darta atau kengerian pertarungan antara pasukan Raja Monyet dan penduduk desa, semua itu hanya berarti berkat kehadiran para pemusik di panggung.
Bermula dari kebingungan memilih fokus, atmosfer yang diciptakan Samsara versi konser sinema bisa dikatakan lebih nyata dibandingkan versi bioskop.
Kolaborasi Eksperimental
Mempertemukan sinema di layar dengan alunan gamelan di panggung adalah satu di antara keputusan terbaik yang diambil oleh Garin Nugroho.
Bukan soal memperkenalkan Gabber Modus Operandi kepada khalayak muda di antara penonton yang mungkin hanya mengenal Hindia dan Lyodra, namun perihal bagimana hasil dari sebuah eksperimen disampaikan dengan berani dalam satu simfoni.
Latar Bali tahun 1930-an dilukiskan dalam film bisu hitam putih 'tak mati' dan terselamatkan oleh alunan gamelan. Gamelan yang dialunkan bersama merdu serta gemetarnya suara para penembang 'tak berjalan keluar alur' melalui kisah mitis dan pesona visual magis dari Samsara.
Kedua aspek ini kemudian disusun dengan rapi, bersatu padu, saling melengkapi, dan memperkuat sensasi yang timbul di mata, telinga, hingga rambut-rambut yang berdiri di atas kulit tangan.
Moral: Kebahagiaan atau Penderitaan?
Beranjak ke pesan moral, mari mengutip satu kalimat yang disematkan Garin Nugroho dalam Samsara. Kalimat tersebut tertancap dalam warna putih di atas kertas hitam, dari salah satu pengantar adegan.
Buah kebahagiaan, buah penderitaan.
Mendambakan kebahagiaan bukan sekadar diperuntukkan mereka yang dikaruniai kemuliaan status sosial. Darta, yang terlahir bukan dari kalangan atas ataupun memiliki cipratan darah kulit putih, hanya mendambakan Sinta.
Dambaan yang terhalang harta dan tahta itu membutakan Darta, mendatangkan petaka untuknya, Sinta, dan satu-satunya putra mereka. Seorang putra yang harus diperlakukan sebagai 'tumbal' dan hidup dalam pusaran penderitaan.
Penderitaan yang dirasakan pula oleh Sinta itu menghanguskan kebahagiaan keluarga kecil mereka, sekaligus meninggalkan karma yang mendatangkan kelahiran kembali bagi Darta.
Bila menilik ajaran dalam agama Hindu Bali, manusia dilahirkan kembali selama ada karma melekat dalam dirinya. Hanya ada satu yang bisa menghentikan samsara, yaitu mokhsa (pembebasan dari siklus kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali).
Konser Sinema Samsara: Sebuah Simfoni
Apa yang membuat konser sinema ini begitu istimewa?
Apa yang membuat konser sinema Samsara begitu istimewa adalah perpaduan seni yang hampir sempurna, sebuah simfoni antara cahaya dan suara.
Simfoni tersebut berhasil menciptakan pengalaman emosional dan spiritual yang tak mudah dilupakan oleh penonton. Representasi budaya Bali yang magis dan mitis mewujudkan sensasi yang mendalam, yang menimbulkan pertanyaan, akankah berbeda jika kita kembali ke awal.
Sensasional, konser sinema karya Garin Nugroho ini benar-benar sensasional. Sebuah karya yang tak memberikan kesempatan untuk semua orang, namun bisa dinikmati semua kalangan.
Usai Yogyakarta, konser sinema Samsara akan hadir di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 13-15 Desember 2024 mendatang. Dan mungkin, Garin Nugroho akan tergugah untuk menyebarkan keindahan simfoninya di kota-kota lain di Tanah Air.
Berita Terkait
-
Identitas Sinema Asia Terjawab di JAFF 2024: Yohanna Sabet 5 Piala, Happyend Bawa Pulang Golden Hanoman
-
Euforia JAFF MARKET 2024: Pasar Film Pertama di Indonesia Rengkuh Capaian Memuaskan
-
Review Film Crocodile Tears: Cinta Hadir Dalam Bentuk yang Beragam
-
Masterclass dan Kerjasama Strategis, MAGMA Perkuat Fondasi untuk Berkarya
-
Langkah Panjang MAGMA Entertainment: Dari Qodrat-Verse hingga Kisah Horor Baru
Tag
Terpopuler
-
Fadly Faisal Dihujat gegara Belakangi Wajah Duta SO7 saat Tampil, Dibela Fans: Sombong dari Mana Sih?
-
Foto Bareng Keanu Massaid di Barcelona, Angelina Sondakh Ingat Adjie Massaid: Senyumnya Mirip!
-
Terlihat Tegar, Geni Faruk Pernah Nangis Ngeluh Capek Punya 11 Anak
-
Tarif Band Gilga Sahid Suami Happy Asmara Capai Rp310 Juta per Manggung, Tuai Sindiran Pedas: Berasa Sekelas Agnez Mo
-
Uut Permatasari Goyang Erotis Padahal Istri Perwira Polisi: Walaupun Kamu Artis, Tolong Kurangi!
Terkini
-
Cupumanik Melepas Single 'Heroik', Hadirkan Refleksi Mendalam Tentang Kehidupan
-
Selamat Tinggal Kebosanan, Penutupan Pameran Moda-Modif Usung Konsep Blue Economy
-
Dapat Dukungan Abah Kirun, Ambyar Mak Byar Makin Membanggakan
-
Perjuangan Ndarboy Genk, Dari Penolakan hingga Menginspirasi di Film Ambyar Mak Byar
-
Fakta Terkuak! Ternyata Gilga Sahid Sempat Tidak Direstui Keluarga Happy Asmara!