'Kuyank' produksi DHF Entertainment hadirkan genre horor yang segar dan kultural, siap tayang 29 Januari 2025 (Istimewa)

Matamata.com - Kurangya re-kreasi hingga kisah yang repetitif menjadi faktor kuat di balik turunnya minat masyarakat terhadap film horor di tanah air.

Namun di sisi seberang, kita kerap melupakan faktor yang tak kalah penting, yaitu 'kedekatan dengan realitas'. Hal inilah yang membuat film 'Kuyank' garapan sutradara Johansyah Jumberan tidak seharusnya Anda lewatkan.

Film Kuyank oleh DHF Entertainment (Istimewa)

Kuyank dalam Bingkai JAFF 2025

Tayang perdana dalam rangkaian Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2025 (JAFF ke-20), Kuyank lebih dari sekadar tontonan yang menampilkan makhluk folklor yang kerap didramatisasi secara berlebihan di film horor.

Kuyank berbicara tentang folklor itu sendiri. Melalui riset yang mendekat ke masyarakat dan produksi yang tidak terburu-buru, Kuyank menantang balik pandangan publik.

Ia tidak menggembor-gemborkan visual yang menyeramkan ataupun audio yang kita jelas tahu, sebagai penonton, adalah 'inti' dari sebagian besar film horor.

Ia adalah salah satu film yang pantas ditayangkan di JAFF, yang berhasil menyentuh sisi paling intim dari realitas masyarakat Kalimantan, terutama Kalimantan Selatan.

Sisi yang kerapkali diabaikan ketika tujuan utama dari pembuatan film horor adalah 'viralitas', bukan 'realitas'.

Film Kuyank produksi DHF Entertainment (Istimewa)

 

Ulasan Film Kuyank: Warita Hingga Irama

  • Warita yang Autentik, Memantik Cerita yang Tidak Biasa

Film Kuyank produksi DHF Entertainment (Istimewa)

Kita perlu memberikan ruang bernapas bagi film horor di Indonesia, terutama dari segi cerita.

Penggemar horor tengah berada di tengah kehororan itu sendiri, berputar-putar di antara banyaknya cerita yang sama yang lama kelamaan akan usang dan ditelan komedi.

Penonton tidak menginginkan apa yang tidak ada menjadi ada, melainkan sesuatu yang baru dan segar. Inilah yang dilakukan oleh 'Kuyank'.

Warita yang diambil tidak berfokus pada bagaimana Kuyank sebagai makhluk divisualisasikan. Kuyank justru diperlihatkan secara utuh dan maksimal dalam konteks realitas kultural masyarakat Kalimantan Selatan.

Premisnya masih sama, yaitu kuyank 'yang dibentuk' dari tubuh seorang wanita. Namun tubub si wanita bukanlah fokus utama.

Fokus utama film ini terletak bagaimana pandangan sosial terhadap wanita mengarah kepada ketidakpercayaan diri dan obsesi untuk memiliki.

Obsesi untuk memiliki ini kemudian dikemas dalam hal-hal duniawi, yang dibayangkan akan menjadi abadi melalui ilmu hitam 'Kuyang.

Film ini menyadarkan bahwa yang dimaksud kuyang bukan sekadar makhluk yang beterbangan, melainkan produk kultural dan sosial masyarakat.

 

  • Bukan Sekadar Nama, Melainkan Sandiwara

Film Kuyank produksi DHF Entertainment (Istimewa)

Menggotong Rio Dewanto sebagai pemeran utama tentu saja menjadi keunggulan tersendiri bagi film 'Kuyank'. Kita tidak bisa menampik dampak dari nama-nama yang besar di dunia sinema.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa nama tiada artinya tanpa sandiwara yang dekat dan lekat.

Kedekatan dan kelekatan ini bisa kita temukan pada pemeran utama wanita, Putri Intan Kasela yang tak lain adalah putri daerah asal Kalimantan.

Kala menyaksikan Putri memerankan sosok Rusmiati, barangkali penonton akan berpikir betapa datarnya kolaborasi yang terjadi. Sisi lain, barangkali kita yang salah mengira.

Pertama, Rusmiati bukanlah wanita dari suku Jawa atau etnis Tionghoa yang kerap muncul dalam film-film horor. Secara kultural, ia adalah seorang wanita Banjar.

Coba tebak, berapa banyak film di Indonesia yang menggambarkan sosok perempuan asal Banjar? 
Hanya sedikit.

Rusmiati ini menjadi semakin menarik bukan karena dia adalah istri dari 'Rio Dewanto'.

Melainkan bagaimana dia yang adalah wanita Banjar mengalami tekanan sosial yang lekat dengan wanita-wanita pada umumnya, namun mengatasinya dengan cara yang dekat dengan realitas di lingkungannya.

 

  • Latar yang Kuat, Irama yang Memikat

Behind The Scene Film Kuyank (Istimewa)

Bersama dengan warita/cerita, latar yang kuat dan irama yang memikat ditampilkan oleh Kuyank.

Latarnya jelas ada di Kalimantan, namun ini bukan soal daratan. Asaf Antariksa sekali lagi membuat kita terpukau.

Melalui tulisannya bersama Johansyah Jumberan, Asaf meletakkan latar film ini berada di atas perairan. Perairan yang begitu dekat dengan kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan sekaligus jarang ditampilkan dalam perfilman bergenre horor.

Karakter tidak sekadar mengunjungi rumah di kawasan perairan, namun tinggal dalam jiwa dan raga di sana. Bahkan klimaks dikemas dalam latar perairan yang sama.

Kemunculan hingga kepergian kuyang yang menjadi topik utama film ini masih dibingkai secara konsisten dalam kawasan perairan. Inilah yang membuat film ini ciamik untuk disaksikan.

Sisi lain, kesan-kesan yang menggelitik dalam konotasi yang positif dirasakan saat irama mengiringi. Film ini bisa jadi gagal tanpa adanya korelasi antar latar tempat dan irama yang memikat.

Lagu-lagu yang mewarnai bukanlah lagu berbahasa Indonesia, melainkan berbahasa Banjar. Entah saat adegan pernikahan maupun perpisahan.

Kapanlagi kita bisa menyaksikan realitas masyarakat Banjar di layar sinema, yang begitu melekat dari unsur cerita, latar, hingga suara? Semua diboyong Kuyank dalam produksinya.

Bagi pecinta horor penanti jumpscare, mungkin diperlukan adanya adaptasi. Namun justru ini keunikannya.

Film ini tidak ditujukan untuk pecinta horor secara eksklusif, melainkan pecinta horor yang ingin merasakan 'realitas' bukan 'viralitas, yang ingin menikmati cerita folklor yang utuh bukan hiperbola.

Film ini juga sangat direkomendasikan bagi Sobat Matamata yang bukan pecinta horor, yang ingin menemukan aspek budaya serta drama di dalam sinema.

Kini, saatnya horor berhenti ber-hiperbola dan waktunya berbicara tentang realitas kultural dalam masyarakat Indonesia. Saksikan 'Kuyank' lebih lama di kota kesayangan Anda mulai 29 Januari 2026 mendatang!

Load More