Baktora | MataMata.com
Pendakwah terkenal. Gus Miftah saat membagikan uang ke warga. (dok.Istimewa)

Meski begitu, praktik money politic ini juga tak sepenuhnya kuat untuk memenangkan calon. Tidak hanya calon legislatif saja, seperti pemilihan lurah atau pemilihan bupati-wali kota juga bisa terjadi.

Salah satu contoh pemilihan lurah pada 2019 lalu. Terjadi di Desa Palding Jaya, Tigalingga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Kalah dari Pilur, dua calon lurah yang maju saat itu justru meminta uang mereka kembali.

Artinya praktik tersebut tak sepenuhnya berhasil mempersuasi masyarakat untuk mau memilih mereka. Memang itu terjadi di ranah desa, namun beranjak ke wilayah yang lebih luas, tentu pemberian uang tersebut tak menjamin seorang calon menang sesuai ekspektasinya.

Melansir laman resmi Bawaslu, Sabtu (29/12/2023), praktik money politic terus dipantau sejauh ini. Memang ada fluktuasi penerapan praktik tersebut dalam masa pemilihan baik di tingkat lurah hingga ke presiden sekalipun.

Bawaslu memperingatkan bahwa dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam frasa UU 10 2016 ayat 2 berbunyi, sanksi administratif berlaku untuk pasangan calon, apabila paslon terbukti melakukan politik uang, Bawaslu dapat melakukan pembatalan sebagai pasangan calon kepala daerah.

Rasanya memang sedikit bias penerapan hukuman tersebut terhadap calon yang ternyata memang menang dalam pemilihan. Pencarian bukti pun akan memakan waktu yang lama, bahkan hal itu nyaris tidak selesai dan meloloskan terduga pelakunya.

Kendati begitu, money politic merupakan cara yang paling buruk dalam meraih kemenangan dalam sistem pemilihan. Di sisi lain, pemilih muda saat ini juga cukup terbuka dengan aturan tersebut.

Tak ada jaminan bahwa pemilih pemula sekali pun akan memilih menolak dan menerima uang tersebut. Meski begitu, praktik ini seharusnya mulai ditinggalkan menyusul pendidikan politik di Indonesia dinilai sudah merangkak naik lebih baik.

Load More