Ilustrasi fan K-Pop. (Desain Grafis/Ema)

Matamata.com - Aaaaaaaaa, berteriak histeris di depan laptop dengan music video baru milik idol K-pop favoritnya yang baru saja rilis. Kegiatan apalagi itu kalau bukan fangirling atau fanboy.

Dewasa ini fenomena fandom K-Pop semakin menjamur. Nggak cuma ke orang-orang dewasa yang memang setia menonton konser idolanya saja, namun juga bocah-bocah yang rela memandang idolnya berada di depan laptop saja.

EXO, BTS, SHINee, BLACKPINK, SNSD, dan Super Junior hanya segelintir nama boyband dan girlband yang dikagumi millenials. Bukan dikagumi saja, namun juga dijadikan panutan.

Baca Juga:
Bukti Cinta Fandom K-Pop pada Idola dan Komunitasnya

Bagi mereka yang menjadi fandom, melihat idolanya, mendukung idolanya, hingga menjaga idolanya mungkin suatu langkah yang menyenangkan baginya. Tapi hal ini justru bertentangan dengan kajian audience, fans, dan
fandom.

Dosen Kajian Audience, Fans, dan Fandom Universitas Gadjah Mada (UGM), Pulung Setiosuci Perbawani, mengatakan jika selama ini fandom selalu dianggap menjadi sebuah patologi atau hal yang dianggap tidak benar. Anggapan ini muncul ketika banyak fenomena negatif tentang fandom yang membuat publik memberikan stigma negatif pada fenomena tersebut.

''Kita harus melihat sejarah kenapa pemikiran ini bisa muncul. Karenaselama ini berita fandom yang naik selalu menunjukkan contoh yang buruk,'' jelas Pulung Setiosuci Perbawani saat ditemui di daerah Jalan Kaliurang, Yogyakarta, Jumat (30/11/2018).

Baca Juga:
Ngefans Sama Idol K-Pop, Harus Seniat Apa?

''Contohnya dulu ada penembakan personel band oleh fannya, terus yang kemarin perang antara fan BLACKPINK dan Young Lex,'' imbuhnya.

BLACKPINK. (Instagram/@blackpinkofficial)

Padahal jika banyak yang mau menyelami lebih dalam lagi tentang fandom K-pop, kegiatan mereka tak pernah mengajarkan keburukan. Sebagai fandom mereka banyak memberikan dukungan penuh satu sama lain.

''Fans K-Ppop di Indonesia bergerak bersama mendonasikan. Satu lagi, setiap mahasiswa saya yang mengangkat skripsi tentang fandom mereka tidak pernah kesulitan menemukan responden,'' kata Pulung.

Baca Juga:
Farhat Abbas - Hotman Paris Tegang Gara-gara Dewi Perssik

Fandom Budaya Pop Asia yang Posesif

Konsep menyukai seseorang pasti tidak akan jauh-jauh dengan cara menonton konser, membeli setiap karyanya, dan mendukung apa yang mereka lakukan. Namun konsep ini tak berlaku untuk fandom yang berada di Benua Asia.

Konsep menyukai di atas hanya berlaku untuk fandom yang berada di negara barat saja. Fan membebaskan artis yang disukainya untuk melakukan apapun tanpa menuntut hal lain. Namun hal ini tidak berlaku untuk fandom di Asia.

Menurut Pulung Setiosuci Perbawani, fandom Asia menunut idolnya menjadi sosok yang sempurna. Mereka tak sadar jika idol yang mereka gandrungi selama ini hanya produk media dan bukan seorang publik figur yang layak dijadikan panutan.

''Selebriti adalah selebriti, publik figur adalah publik figur. Mereka tidak punya tanggung jawab moral,'' jelas Pulung Setiosuci Perbawani.

Sebut saja boyband BTS, mereka tak akan berpacaran daripada harus kehilangan fannya. Fan fanatik mereka akan cemburu ketika idolnya berpacaran dengan orang lain. Jika mereka nekat pacaran, makan fan fanatik mereka akan seketika berubah menjadi anti fan. Sehingga para idol tahu betul bagaimana mereka harus bertahan dan tetap mendapatkan perhatian dari fannya.

BTS (soompi)

Sentimen antar Fandom Kpop

Selama ini kajian tentang audience dan fan keluar dari budaya pop yang berkembang di negara barat. Tanpa sadar, dari waktu-ke-waktu budaya pop Asia makin mendominasi dan kajian awal yang keluar belum bisa menjelaskan fenomena fandom yang ada di Asia khusunya Indonesia.

Menurut Pulung Setiosuci Perbawani, fandom Kpop memiliki kode dan kultur yang berbeda dari fandom barat kebanyakan.

''Mereka tak menerima kritik atau policy dari orang lain. Apapun yang terjadi mereka harus berdiri di belakang idol mereka,'' jelasnya.

Karena kultur baru dari fandom ini maka dari itu banyak bermunculan sentimen antara fandom Kpop. Belum lagi adanya kaderisasi jika setiap fandom memiliki musuh fandom tertentu.

''Intinya ada satu kultur my oppa it's better than your oppa, mereka nggak bisa pilihannya disalahkan. Orang itu nggak ingin ketika mereka membuat pilihan, pilihan itu disalahkan karena hal itu akan membuat mereka merasa salah juga,'' imbuh Pulung.

Jika dalam ilmu psikologi, ini masuk ke tahap internalisasi dalam sebuah perubahan sikap. Di mana mereka tetap bertahan dengan suatu keadaan dan tak peduli dengan apa yang terjadi.

Namun menurut Pulung Setiosuci Perbawani, fandom Kpop masuk ke tahapan yang lebih tinggi dari internalisasi. Atau mungkin bisa jadi fandom Kpop masuk dalam tahapan internalisasi dengan level yang lebih tinggi.

Meski fenomena fandom Kpop yang masif ini masih belum memiliki teori spesifik, ademisi tak meninggalkannya begitu saja. Sudah banyak kajian yang membahas tentang hingar-bingar fandom Asia khusunya Kpop.

Bahkan Pulung Setiosuci Perbawani menceritakan jika dalam buku yang berjudul The Westernising Media Studie disebutkan jika Asia sudah menjadi kiblat tren dunia. Jadi tidak heran jika sekarang sudah banyak kajian yang membahas tentang budaya populer Asia.

''Kpop, Cpop, Jpop, ini adalah sebuah fenomema topik tetap fandom. Sedangkan untuk bidang akademik selalu ditekankan lebih ke topiknya bukan fenomena, karena fenomena bisa digantikan,'' pungkasnya.

Baca juga: Kegilaan Fandom K-Pop: Jadi Fan Itu Mahal

Load More