Matamata.com - Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) tidak akan efektif tanpa adanya solusi untuk mendorong permintaan kredit.
“Sepanjang isu permintaan (kredit) tidak dicarikan solusi, dunia usaha tidak akan ekspansif. Sehingga menggelontorkan likuiditas perbankan tidak akan membantu,” kata Wijayanto di Jakarta, Senin (15/9).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penyaluran kredit nasional pada Juli 2025 tumbuh 7,03 persen secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp8.043,2 triliun. Namun, pertumbuhan tersebut melambat dibandingkan Juni yang sebesar 7,77 persen, sekaligus menjadi laju paling rendah sejak Maret 2022.
Perlambatan ini mencerminkan pelemahan daya beli masyarakat serta meningkatnya kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit. Sementara itu, kredit yang belum terealisasi (undisbursed loan) justru naik 9,52 persen, lebih tinggi dari pertumbuhan tahun lalu yang sebesar 6,89 persen.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya telah menandatangani kebijakan penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke lima bank anggota Himbara. Rinciannya, Bank Mandiri, BRI, dan BNI masing-masing Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, serta BSI Rp10 triliun.
Dana tersebut bukan berasal dari dana darurat, melainkan sisa anggaran pemerintah yang belum dibelanjakan dan sebelumnya ditempatkan di Bank Indonesia. Dengan penempatan di bank komersial, dana diharapkan bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan sektor produktif.
Menurut Wijayanto, penyaluran dana sebaiknya difokuskan pada sektor yang mampu mendorong perekonomian.
“Dana Rp200 triliun sebaiknya untuk mendanai sektor-sektor yang sudah teruji menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya beli,” ujarnya.
Namun demikian, ia menekankan kebijakan tersebut tidak dapat berdiri sendiri.
“Kebijakan ini harus diikuti dengan perbaikan iklim usaha dan daya beli. Jika berjalan sendiri, kebijakan ini justru akan membebani sektor perbankan dengan risiko yang tidak perlu,” katanya.
Selain itu, penarikan Rp200 triliun dari Sisa Anggaran Lebih (SAL) di Bank Indonesia dinilai berpotensi mengurangi cadangan fiskal pemerintah.
“Menarik Rp200 triliun dari SAL di BI akan mengurangi outstanding SAL menjadi Rp250 triliun. Jika kondisi fiskal memburuk pada 2025 dan 2026, anggaran tersebut tidak akan memadai untuk menalangi belanja APBN saat penerimaan pajak terlambat masuk,” ujar Wijayanto. (Antara)
Berita Terkait
-
Ekonomi Kuartal IV Diprediksi Melambat, Purbaya Siapkan Opsi Suntikan Dana dan Tambahan Anggaran BNPB
-
Koalisi Sipil Mendesak Presiden Tetapkan Status Darurat Bencana Nasional
-
Belanja Program Prioritas 2025 Lampaui Rp600 Triliun, Kemenkeu: Sudah Terserap 65,8 Persen
-
Indonesia Tegaskan Penguatan Hak Masyarakat Adat di Forum COP30
-
'Purbaya Effect Dinilai Mulai Dongkrak Ekonomi Nasional
Terpopuler
-
Menkeu Siapkan Dana Tambahan, Tunggu BNPB Ajukan Anggaran Penanganan Banjir Sumatera
-
Siswa MTs di Banyuwangi Raih Medali Perak di Olimpiade Sains Junior Internasional Rusia
-
Kemenag dan LPDP Kebut Penyaluran Beasiswa Menjelang Batas Akhir Anggaran 2025
-
Bupati Aceh Timur Minta Hunian Darurat untuk Korban Banjir Lokop
-
Mahasiswa Palangka Raya Nyalakan Seribu Lilin untuk Korban Banjir Sumatera
Terkini
-
Menkeu Siapkan Dana Tambahan, Tunggu BNPB Ajukan Anggaran Penanganan Banjir Sumatera
-
Siswa MTs di Banyuwangi Raih Medali Perak di Olimpiade Sains Junior Internasional Rusia
-
Kemenag dan LPDP Kebut Penyaluran Beasiswa Menjelang Batas Akhir Anggaran 2025
-
Bupati Aceh Timur Minta Hunian Darurat untuk Korban Banjir Lokop
-
Mahasiswa Palangka Raya Nyalakan Seribu Lilin untuk Korban Banjir Sumatera