Diskusi Film Klasik JAFF di pendopo Ajiyasa Jogja Nasional Museum (2/12/2018) (Matamata.com/Yoeni)

Matamata.com - Jogja NETPAC Asian Film Festival (JAFF) yang diselenggarakan sejak 27 November 2018 kembali menghadirkan diskusi yang menarik. Bertempat di pendopo Ajiyasa Jogja Nasional Museum, para sineas perfilman Tanah Air berbicara soal keunikan dan sulitnya menemukan film Asia khususnya Indonesia klasik sekarang ini.

Diskusi menarik yang berlangsung pada 2 Desember 2018 pukul 10.00 sampai 12.00 WIB itu mengangkat tema Classic Asian Film: Further Understanding of The Development of a Comprehensive Asian Film About the Uniqueness of Asian Films. Public lecture ini menghadirkan 4 pembicara utama, yakni Lisabona Rahman dari Jakarta Arts Council, Joko Anwar selaku penulis dan sutradara, Philip Cheah sebagai kritikus dan konsultan festival film dan Ekky Imanjaya seorang dosen dari jurusan Film di Bina Nusantara University.

Arena pendopo dipadati oleh para penggemar film yang penasaran dengan sejarah film klasik Indonesia. Bean bags dan kursi ditata rapi untuk para peserta bisa menikmati diskusi dengan nyaman.

Baca Juga:
Jadi Pengantin Baru, Ekspresi Ngeselin Baim Wong Ejek Jomblo

Tito Amanda, selaku moderator acara menyapa dalam bahasa Inggris. Selanjutnya dilanjutkan dengan perkenalan para speaker. Sayangnya yang dinanti-nanti, Joko Anwar selaku sutradara film horor laris Pengabdi Setan tidak bisa hadir.

Diskusi Film Klasik JAFF di pendopo Ajiyasa Jogja Nasional Museum (2/12/2018) (Matamata.com/Yoeni)

Lisabona Rahman membuka percakapan dengan Bahasa Inggrisnya yang fasih. Ini adalah tahun pertama bagi Lisabona berkontribusi untuk JAFF sebagai programmer segmen layar klasik.

Wanita yang memulai karier sebagai kritikus film di surat kabar ini setuju kalau Indonesia memang memiliki sejarah perfilman yang panjang. Film Indonesia begitu kaya karena mengandung banyak unsur budaya.

Baca Juga:
Rela Datang Pagi Buta, 5 Seleb Ini Ikut Reuni Akbar 212

Tantangan terbesar bagi industri film klasik adalah distribusi. Di mana ada banyak perusahaan produksi film yang jatuh bangun setiap tahun membuat investigasi terhadap pencarian film-film Indonesia jaman dulu sulit dilakukan. ''It's not very clear, it's gambling. Investigating production company is difficult because they are no longer there,'' jelas Lisabona dalam suatu sesi tanya jawab.

Diskusi Film Klasik JAFF di pendopo Ajiyasa Jogja Nasional Museum (2/12/2018) (Matamata.com/Yoeni)

Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Ekky Imanjaya kalau penemuan film-film Asia khususnya Indonesia klasik itu seringnya kebetulan seperti lost and found. Film-film klasik banyak ditemukan di museum film, perusahaan film pribadi, toko DVD atau VCD, dan tempat-tempat tak terduga lainnya.

Tahun 2007-2008 misalnya saat Ekky menyelesaikan kuliahnya di Amsterdam, dia menemukan banyak film Indonesia yang diproduksi dan didistribusikan di zaman kolonial Belanda di Amsterdam Film Museum. Beberapa film Indonesia klasik juga ditemukan di KITL V Library di Leiden dan HK Film Museum di Hong Kong.

Baca Juga:
Gaya 10 Seleb di Resepsi Ketiga Deepika Padukone & Ranveer Singh

Di Jakarta sendiri, Sinematek Indonesia dan Kineforum adalah dua institusi yang biasanya rajin memutar film-film klasik. Salah satunya adalah film Indonesia saat jaman penjajahan Jepang di Yamagata, Antara Bumi dan Langit, berhasil direstorasi atas kerjasama Sinematek Indonesia bersama Busan Film Festival dan Yamagata Documentary Film Festival.

Selain bisa ditemukan di toko-toko DVD atau VCD baik legal ataupun ilegal, pencarian jejak film Indonesia klasik juga bisa berawal dari sebuah kebetulan. Misalnya pada koleksi pribadi seorang kawan atau pada rak-rak terbawah sebuah laboratorium tua di suatu negara. Kebanyakan karena pada tahun sekitar 1960-an beberapa negara belum memiliki teknologi memadai untuk mendistribusikan film hingga film-film klasik banyak berakhir ditelantarkan.

Diskusi Film Klasik JAFF di pendopo Ajiyasa Jogja Nasional Museum (2/12/2018) (Matamata.com/Yoeni)

Lewat salah satu diskusinya yang menarik ini JAFF terbilang sukses menjadi salah satu festival film berskala internasional. Diprakarsai oleh Garin Nugroho sejak tahun 2006, JAFF terbukti tak pernah sepi peminat.

Baca Juga:
Intip 5 Potret Upacara Pernikahan Priyanka Chopra dan Nick Jonas

Meski awalnya tak mendapatkan tempat yang sepantasnya di layar perbioskopan Indonesia, lewat festival-festival film seperti JAFF inilah para penikmat film bisa menyaksikan film Indie berkualitas dari segala penjuru Asia. Public lecturer yang menyenangkan, apalagi kalau Joko Anwar bisa datang ya, hehe.

Load More