Gambar Ilustrasi [MataMata.com]

Keresahan pemuda terhadap pengabaian budaya

Namun, aku mulai tergelitik saat menatap beberapa pemuda-pemudi yang terlihat asyik menyimak lantunan-lantunan tembang macapat pada Kamis sore itu (19/9).

Salah satunya ada Vanessa yang merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum di salah satu Universitas Yogyakarta. Pada awalnya, ia mengaku mendapatkan informasi macapat dari ibunya.

“Aku sih hampir tiga minggu (kurus macapat), sebenarnya dari awal memang cari macapat. Nah, kadang kan ada dipertunjukan wayang, tapi kita cuma bisa dengar tanpa belajar. Terus kebetulan pas ada bazar diumumkan kalau ada kursus macapat dan nulis aksara Jawa. Sebenarnya yang datang ke bazar ibu,” kata Vanessa.

Meski awalnya didukung ibunya, Vanessa mengaku resah sedikitnya minat pemuda-pemudi yang ingin belajar budaya leluhurnya.

“Sebelumnya kan saya kan sekolah di Jakarta jadi hampir nggak ada pelajaran bahasa Jawa. Kebetulan keluarga saya juga setengah-setengah, Bapak Jawa dan Ibu Sumatra jadi ngomongnya sering Bahasa Indonesia. Mumpung saya kuliah di Yogyakarta saya memperdalam budaya-budaya Jawa lagi. Karena kalau bukan kita pemuda, siapa lagi,” jelas Vanessa.

Selain Vanessa, ada juga sosok pemuda lain yang merupakan mahasiswa pascasarjana di salah satu Universitas Yogyakarta.

Lipsus Sekolah Macapat di Yogyakarta (MataMata.com/Firna Larasanti)

“Saya sudah sering mengikuti kursus ini sejak kuliah s-1. Tapi sempat berhenti karena beberapa kesibukan. Kemudian saya sekolah lagi dan ambil jurusan sastra jawa. Tetapi, pembelajaran di kuliah itu sangat terbatas. Meskipun ini nggak wajib, saya berkeinginan ingin meningkatkan skills dalam nembang bahasa Jawa. Apalagi saya juga mengajar sebagai guru di sebuah sekolah,” kata Rio.

Lebih lanjut, Rio juga menjelaskan jika ketertarikan pemuda dalam belajar budaya memang semakin menurun. Apalagi di tengah era globalisasi yang memudahkan para pemuda untuk mendengar lagu-lagu barat ketimbang lagu daerah sendiri.

“Ya, bisa dibilang hanya segelintir pemuda yang masih memperhatikan adat istiadat ataupun budaya bangsanya. Di jaman digital ini, pemuda sangat gampang untuk mendengarkan lagu-lagu internasional bahkan sekarang ada K-Pop dan lain sebagainya, Tapi, di lain sisi mereka seolah sulit untuk sekedar mendengar atau mempelajari lagu kekhasan dari daerahnya masing-masing,” ujar Rio.

“Memang sih saya lihat lebih banyak orang tua yang mengikuti kursus ini. Padahal pemuda memiliki tanggungjawab yang sangat besar untuk melestarikan budaya bangsa. Maka dari itu,, saya sendiri berkomitmen untuk tetap belajar dan melestarikan warisan leluhur ini,” pungkas Rio.

Meski gratis, nyatanya minat para pemuda untuk melestarikan budayanya memang masih sedikit. Padahal, pemerintah juga telah mengupayakan secara maksimal agar warisan leluhur bangsa Indonesia tetap dapat dinikmati generasi selanjutnya.

Load More