Gambar Ilustrasi [MataMata.com]

Nembang itu panggilan hati

Tujuan didirikannya sekolah macapat adalah untuk melestarikan budaya Jawa. Rama Projo sendiri menjelaskan bahwa sebagai pamong (guru) ia tidak memiliki ambisi atau pamrih apapun dalam mengajar macapat.

Secara umum, macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat) yaitu cara membaca yang terjalin tiap empat suku kata. Sedangkan yang diceritakan dalam tembang atau puisi tradisional Jawa adalah tahapan kehidupan manusia.

“Macapat itu adalah seni suara seperti menyanyi. Tetapi, ada kekhasan spesialis aturan-aturan yang harus dipenuhi dalam mengajar macapat. Misalnya, kita belajar macapat itu harus tahu apa tembang-tembangnya, kemudian harus tahu nada-nadanya,” kata Rama Projo.

Di dalam belajar macapat juga ada istilah-istilah yang harus dipahami oleh peserta yakni Guru Gatra, Guru Lagu, dan Guru Wilangan.

“Jadi sebelumnya harus tahu titi larasnya, kalau guru gatra itu jumlah baris dalam satu tembang. Karena dalam sebuah tembang baris perbarisnya sudah pasti. Yang mestinya 9 kalau lebih dari 9 ya salah. Yang mestinya 7 kalau lebih dan kurang ya salah. Nah, kalau A I U E O itu namanya guru lagu,” jelas Rama Projo.

Tembang-tembang Macapat sendiri sangat beragam di antaranya Kinanti, Mijil, Sinom, Asmarandana, Gambuh, Dangdanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Maskumambang.

“Tembang yang biasanya sulit dikuasai siswa itu Sinom dan Durmo. Namun, kalau siswa sudah mengetahui notasi-notasinya semuanya pasti mudah,” ujar Rama Projo.

Lipsus Sekolah Macapat di Yogyakarta (MataMata.com/Firna Larasanti)

Bukan hanya sekadar kursus nembang, sekolah macapat juga memiliki tujuan khusus mengapa masih diajarkannya sekolah macapat di Yogyakarta.

“Para siswa ini setelah belajar justru kami arahkan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan macapat yang ada di Yogyakarta. Seperti diketahui kegiatan macapat di Yogyakarta itu sangatlah padat. Bisa dikatakan tiada malam tanpa macapat,” jelas Rama Projo.

“Nah, kalau bener sudah betul-betul mampu, para siswa akan diajak untuk tampil ke Kraton Ngayogyakarta. Biasanya hal ini dilaksanakan setiap jumat pagi jam 09.00-11.oo WIB dalam acara pagelaran macapat untuk suguhan para wisatawan.” kata Rama Projo.

Untuk antusiasme sendiri, sebagian besar siswa sekolah macapat justru diisi oleh bapak atau ibu yang telah berusia lanjut dari pada pemuda-pemudinya. Selain itu, Rama Projo juga menjelaskan beberapa kali para wisatawan juga ada yang tertarik untuk belajar macapat.

“Biasanya kalau bule-bule itu lewat denger kita nembang mereka nanti ikutan. Tapi ya nggak bisa ditentukan. Kalau lansia-lansia itu malah senang belajar karena mereka memang banyak waktu,” jelas Rama Projo.

Hal ini sejalan dengan alasan yang diutarakan oleh ibu-ibu yang ditemui ketika kursus tembang macapat pada Kamis (19/9).

“Ya, untuk mengisi waktu luang mbak. Daripada tidak ada kegiatan lebih baik digunakan belajar,” kata salah seorang ibu peserta kursus macapat.

Sedangkan untuk anak-anak muda yang datang ke sekolah macapat biasanya memiliki tujuan-tujuan berbeda. Ada yang terkait dengan pembelajaran kelas ataupun memang ingin melestarikan budaya Jawa.

“Kita memang tidak pernah mendesak anak-anak muda untuk belajar macapat. Tapi, mereka yang datang ke sini biasanya memang karena panggilan hati. Pertama, jam belajar nembang macapat di sekolah kan biasanya terbatas jadi mereka ke sini. Kedua, mungkin memang mereka suka nembang macapat,” kata Rama Projo.

“Kenapa lebih banyak lansia-lansia, alasannya macapat ini kan berisi petuah-petuah kehidupan yang lebih cocok diilhami oleh orang-orang tua ketimbang anak muda. Jadi, menurut saya wajar kalau anak-anak muda kurang merasa sebagai dunianya,” kata Rama Projo.

Load More