Elara | MataMata.com
Forum Petani Tebu. (ANTARA/HO-Forum Petani Tebu)

Matamata.com - Petani tebu di Jawa Timur mendesak pemerintah melakukan perombakan menyeluruh terhadap tata niaga gula nasional. Hal ini menyusul rendahnya serapan gula hasil petani akibat membanjirnya gula rafinasi di pasar konsumsi sejak awal musim giling tahun ini.

"Kami sudah mulai panen dan menggiling tebu. Tapi gula kami tidak ada yang beli. Pasar kebanjiran gula rafinasi yang dijual murah. Ini jelas merugikan kami sebagai petani rakyat," ujar Koordinator Forum Petani Tebu, Tasirin, dalam keterangan tertulis yang diterima di Surabaya, Kamis (7/8).

Tasirin, yang juga anggota DPRD Kabupaten Lamongan, menyebutkan persoalan rembesan gula rafinasi terus berulang setiap tahun tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah.

“Setiap tahun selalu begini. Tapi tidak pernah ada langkah tegas. Kalau terus dibiarkan, petani tebu bisa punah,” tegasnya.

Menurutnya, sejak program swasembada gula dicanangkan, banyak petani mulai antusias kembali menanam tebu. Namun, semangat itu kembali padam lantaran hasil produksi mereka kalah bersaing dengan gula impor.

‘’Sejak tahun lalu, di Jatim luas tanaman tebu milik petani terus bertambah. Apalagi diikuti dengan harga yang bagus sehingga petani lebih bergairah. Namun, ketika mulai bergairah, serapan gula milik petani terganggu lagi oleh gula rafinasi impor yang beredar di pasar-pasar tradisional,’’ ungkapnya.

Pemerintah sebelumnya telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati. Kebijakan ini juga dibarengi dengan restrukturisasi kelembagaan PTPN Group serta perbaikan budidaya tebu oleh Kementerian Pertanian.

Namun, perbaikan di sektor hulu tidak diimbangi pembenahan sistem distribusi. Gula rafinasi dan gula fortifikasi hasil impor kembali ditemukan di pasar tradisional, membuat gula lokal menumpuk di gudang-gudang petani.

Sebagai catatan, gula rafinasi merupakan hasil pemurnian gula mentah (raw sugar), sedangkan gula fortifikasi adalah gula yang telah ditambahkan zat gizi mikro. Keduanya berasal dari impor dan dijual lebih murah daripada Gula Kristal Putih (GKP) hasil produksi petani lokal.

Tasirin menduga peredaran kedua jenis gula tersebut di pasar konsumsi tak lepas dari permainan para mafia gula.

‘’Masalah ini tidak akan pernah selesai tanpa revolusi tata niaga gula oleh pemerintah. Harus ada langkah tegas pemerintah agar petani yang mulai bersemangat kembali menanam tebu ini terlindungi,’’ tandasnya.

Ia juga menekankan, jika kondisi ini terus berlangsung, bukan hanya petani yang merugi, tetapi juga pabrik gula yang akan terdampak akibat minimnya pasokan tebu. Hal ini bisa mengancam target swasembada gula nasional.

Tasirin mendorong pemerintah mengambil langkah strategis seperti menertibkan total distribusi gula rafinasi di pasar konsumsi, membuka transparansi harga dan jalur distribusi gula petani, serta memperkuat kelembagaan niaga yang melibatkan koperasi petani, BUMN pangan, dan offtaker yang adil.

‘’Kami tidak butuh subsidi. Kami butuh sistem yang adil,’’ tegasnya.

Meski mengapresiasi langkah perbaikan industri gula oleh pemerintah, Tasirin menekankan pentingnya pembenahan total dari hulu ke hilir.

‘’Tanpa itu, target swasembada gula hanya akan jadi ilusi,’’ pungkasnya. (Antara)

Load More