Matamata.com - Konflik geopolitik antara Iran dan Israel di kawasan Timur Tengah dinilai berpotensi mengguncang pasar energi global dan membawa dampak ekonomi serius bagi Indonesia.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menjelaskan bahwa lonjakan harga minyak menjadi risiko utama yang perlu diwaspadai.
"Kenaikan harga minyak dunia akan langsung memengaruhi biaya impor Indonesia karena kita bukan lagi eksportir minyak bersih," kata Yusuf saat diwawancarai di Jakarta, Senin (23/6).
Ia menambahkan, dampak langsung yang paling cepat terasa dari kondisi ini adalah tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Ketika ketidakpastian global meningkat, investor cenderung memindahkan dananya ke aset-aset aman seperti dolar AS dan emas, sehingga menyebabkan pelemahan mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Fenomena ini bukan baru. Kita sudah melihat pola serupa saat terjadi krisis global sebelumnya," ujarnya.
Pelemahan rupiah, menurut Yusuf, akan memperberat beban fiskal pemerintah, khususnya terkait subsidi energi. Kenaikan harga minyak dan depresiasi rupiah akan mendorong lonjakan harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM).
Jika pemerintah tetap mempertahankan harga BBM bersubsidi seperti pertalite dan solar, selisih harga harus ditanggung melalui tambahan subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Situasi ini akan menyempitkan ruang fiskal dan berpotensi mengganggu alokasi anggaran untuk sektor penting seperti infrastruktur, pendidikan, maupun kesehatan," tegasnya.
Yusuf menyebut kondisi ini mengingatkan pada dampak ekonomi yang ditimbulkan pada awal invasi Rusia ke Ukraina. Meski skala konflik Iran-Israel saat ini belum sebesar perang tersebut, potensi eskalasi tetap perlu diantisipasi secara serius mengingat kawasan ini merupakan pusat utama pasokan energi dunia.
Mengutip data Anadolu Agency, harga minyak mentah global melonjak 11 persen dalam sepekan terakhir hingga 19 Juni. Ketegangan terbaru antara Israel dan Iran memicu kekhawatiran terhadap terganggunya distribusi dan perdagangan minyak di kawasan Timur Tengah.
Harga spot minyak mentah Brent tercatat naik dari 69,65 dolar AS per barel pada 12 Juni menjadi 77,32 dolar AS per barel per 19 Juni. West Texas Intermediate (WTI) juga mengalami kenaikan yang sama dalam periode tersebut.
Meski demikian, harga minyak Brent masih berada di bawah rata-rata harga tahunan 2024 yang tercatat sebesar 80 dolar AS per barel. (Antara)
Berita Terkait
-
Ekonomi Kuartal IV Diprediksi Melambat, Purbaya Siapkan Opsi Suntikan Dana dan Tambahan Anggaran BNPB
-
Mendes Yandri: Semua Pihak Wajib Dukung Kopdes Merah Putih demi Kesejahteraan Desa
-
UMP 2026 Berpotensi Berubah, Pemerintah Tunggu Data Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III
-
BI Kucurkan Insentif Rp36,38 Triliun untuk Dorong Pembiayaan Hijau
-
Menko Pangan Ajak Publik Dukung Program MBG: Dorong Gizi Anak, Gerakkan Ekonomi Rakyat
Terpopuler
-
Erick Thohir: Atlet SEA Games Harus Tunjukkan Kedigdayaan Indonesia
-
Satgas Telusuri Dugaan Kerusakan Hutan Penyebab Banjir dan Longsor di Sumatera
-
ESDM Identifikasi 23 Izin Tambang di Tiga Provinsi Terdampak Banjir dan Longsor
-
Menkeu Siapkan Dana Tambahan, Tunggu BNPB Ajukan Anggaran Penanganan Banjir Sumatera
-
Siswa MTs di Banyuwangi Raih Medali Perak di Olimpiade Sains Junior Internasional Rusia
Terkini
-
Erick Thohir: Atlet SEA Games Harus Tunjukkan Kedigdayaan Indonesia
-
Satgas Telusuri Dugaan Kerusakan Hutan Penyebab Banjir dan Longsor di Sumatera
-
ESDM Identifikasi 23 Izin Tambang di Tiga Provinsi Terdampak Banjir dan Longsor
-
Menkeu Siapkan Dana Tambahan, Tunggu BNPB Ajukan Anggaran Penanganan Banjir Sumatera
-
Siswa MTs di Banyuwangi Raih Medali Perak di Olimpiade Sains Junior Internasional Rusia